SUKU KEI, NUHU EVAV

Kei atau Kai adalah nama sebutan dari penduduk pulau-pulau tetangga terhadap kepulauan yang terletak di Maluku Tenggara, sebelah selatan jazirah kepala burung pulau Papua, sebelah barat pulau Aru, dan di timur laut dari Kepulauan Tanimbar. Sementara orang-orang Kei sendiri terkadang menyebut kepulauan Kei ini sebagai Nuhu Evav (Kepulauan Evav) atau Tanat Evav (Negeri Evav). Tetapi kita terlanjur mengenal mereka dengan nama “Kai” yang sebenarnya sebutan dari zaman kolonial Hindia Belanda dan sumber-sumber lama.



Secara umum, Suku Kei terklasifikasi ke dalam dua persekutuan adat, yakni, Lor Siw atau Ur Siw (Siw Ifaak)dan Lor Lim (Lim Itel). Lor secara etimologis dapat diartikan sebagai sekumpulan orang yang tinggal atau mendiami wilayah (Ratschap) kesatuan dari suatu masyarakat hukum adat yang didasari oleh faktor geneologis (keturunan) dan faktor teritorial (wilayah), sedangkan Siw dan Lim menunjuk pada angka 9 (sembilan) yang merujuk pada Kei Kecil dan 5 (lima) yang merujuk pada Kei Besar. Angka-angka ini lebih lanjut dipahami sebagai suatu lambang institusi dari masing-masing persekutuan.
Jika kita mengacu pada hikayat atau tradisi setempat, mereka meyakini jika leluhur orang Kei berasal dari Bal (Bali). Selain Bali, suku Kei juga meyakini negeri asal leluhur mereka berasal dari Dalo Ternat(Jailolo dan Ternate), Seran Ngoran (Pulau Seram dan juga wilayah Gorom di Maluku Tengah), Sumbau(Pulau Sumbawa), dan juga dari Vutun (Buton).
Dikisahkan secara lisan bahwa awal kedatangan mereka menggunakan dua perahu utama yang berlayar dari pulau Bali yang dinahkodai oleh Hala’ai Deu dan Hala’ai Jangra. Sesampainya di kepulauan Kei, kemudian dua perahu ini berpisah. Perahu yang membawa rombongan Jangra kemudian menepi di Desa Ler-Ohoylim, pulau Kei Besar, dan perahu yang membawa rombongan Deu berhasil berlabuh di Desa Letvuan, Pulau Kei Kecil.
Letvuan kemudian dijadikan sebagai pusat pemerintahan, di wilayah ini lah tempat dikembangkan sebuah hukum adat yang disebut Larvul Ngabal (Darah merah dan tombak Bali). Bukti adanya hubungan sejarah Pulau Kei dengan Bali meliputi benda-benda warisan dan juga mengacu pada toponimi sebuah tempat yang bernama Bal Sorbay (Bali-Surabaya) yang dipercaya sebagai tempat perahu-perahudari Bali itu berlabuh pada masa lalu.
Kini suku Kei, tinggal di Kepulauan Kei yang terdiri dari tiga pulau dengan luas mecapai 1.800 km2; Pulau Duliah, Pulau Nahuroa (Kei Kecil), serta Pulau Kei Besar.
Seperti kebanyakan masyarakat Maluku, secara ekonomi mata pencaharian orang Kei merupakan suatu kombinasi dari kegiatan bercocok-tanam, berburu, dan menangkap ikan di perairan sekitar pantai. Kepulauan Kei dianugerahi kekayaan alam laut yang berlimpahnya terutama terumbu karang yang dikelilingi laut dalam. Kei juga merupakan daerah penghasi kayu terbaik di Nusantara, perahu-perahu buatan orang Kei dulu sangat terkenal .

Secara sosial, beberapa tradisi lama mereka masih dipertahankan masyarakat Suku Kei yang tersebar di pulau Kei Besar, Kei Kecil, Dullah Darat, Dullah Laut, dan beberapa pulau kecil lainnya. Meskipun, agama-agama besar telah hadir lebih dari seabad datang ke wilayah Kei, sistem sosial yang dibangun oleh orang-orang Kei justru diyakini berasal dari praktik tradisi yang berasal dari nenek moyang mereka. Adanya bentuk Stratifikasi sosial dalam masyarakat Kei, seperti kelas bangsawan (’mel’), penduduk asli (’ren”), dan kalangan rendah (‘iri”), untuk sebagian wilayah menunjukan pada masa lalu wilayah ini telah mempunyai sistem dan stratifikasi sosial yang sangat ketat. Namun secara umum Suku Kei memiliki pandangan hidup yang berbunyi Tabe ain ni ain yang berarti bahwa “kita adalah saudara”.
Share this article :
 

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Lucky Template | Biru Lautanku
Copyright © 2011. Laut Tual - All Rights Reserved
Modificated by Lucky Biru Lautanku | Informasi Online
Proudly powered by Blogger